Menu Close

Manajemen (Re)Produksi Pendidikan | Essai #1

Di dunia pendidikan tinggi, muncul paham linearitas keilmuan.Kalau tidak linear tidak diakui keilmuannya. Yang kalau linearitas ini dijalani secara konsisten dapat menjadi profesor. Linear. Kalau tidak linear tidak bisa untuk naik pangkat. Sudah ada aturannya. Begitu semangat yang ada sekarang. Ini sebetulnya bagus. Dan memang seharusnya keilmuan, atau apapun itu, harus linear.

Namun demikian tidak selalu mudah untuk berpikir linear dalam kehidupan riil. Sangat tidak manusiawi (sekurang-kurangnya menurut saya) untuk selalu berpikir, bereskspresi, dan berimaginasi hanya tentang reproduksi hewan (misalkan keilmuan kita reproduksi hewan. Terlalu banyak hal lain “kemliwer” di dalam pikiran. Hal ini tidak dapat dilenyapkan begitu saja dengan tawaran hibah, kepangkatan, pakar, sertifikat. Ada banyak faset dalam pikiran dan kehidupan yang menghalangi untuk menjadi super spesialis linear. Dokter spesialis mata kanan.

Memang banyak dokter hebat yang kedua orang tuanya dokter. Istrinya juga dokter, mertuanya juga. Ikut Ikatan Dokter Indonesia. Dan juga ikatan dokter sedunia. Teman-temannya juga dokter. Tinggal di perumahan dokter. Memakai pakaian dokter. Ikut arisan dokter. Mendapat penghargaan dokter. Dan waktu kecil bercita-cita menjadi dokter. Dan setelah besar memang menjadi dokter, setelah itu ingin anaknya menjadi dokter. Semua berbau kedokteran. Dan memang idealnya begitu.

Tetapi tidak semua dapat seperti itu. Beberapa ilmuan dapat disebutkan sebagai contoh. Carl Gans, ahli zoologi yang menjadi editor Journal of Morphology hingga akhir hayatnya di usia 86 tahun, dulunya adalah insinyur yang bekerja di pabrik mesin. Malahan Darwin, pencetus teori evolusi, adalah seorang mahasiswa kedokteran yang “kagol”. Dia tidak lulus kuliah kedokteran. Hobinya mengumpulkan serangga dan hewan-hewan lain sejak sebelum kuliah kedokteran. Bahkan bapak genetika dalam ilmu biologi, yang rumusnya masih dipakai sehingga sekarang, ialah Mendel, seorang pastor yang tidak master di bidang biologi, dan melakukan penelitian kacang ercis di halaman belakang gerejanya.

Tulisan ini tidak menganjurkan agar orang berkecimpung di sesuatu yang bukan bidangnya. Atau memprovokasi orang untuk mengajukan hibah penelitian yang bukan keahlian serdosnya, sehingga mencangkuli sawah orang lain. Penulis hanya menyatakan bahwa tidak semua peristiwa itu harus linear. Sekurang-kurangnya dari segi kenyataan. Tidak linear dan sesuatu yang melompat-lompat tidak karuan itu ialah bagian dari kenyataan hidup. Baik kita suka atau tidak.

Apa yang akan penulis sampaikan adalah salah satu bagian hal-hal “kemliwer” yang telah disebutkan di atas. Sebetulnya hal ini sangat sukar untuk dituliskan. Karena biasanya tema-tema seperti ini formatnya untuk di omongkan saja. Sebagai bahan diskusi orang-orang “kagol”. Obrolan di kantin. Tetapi menurut ISO, kerjakan apa yang ditulis. Dan tulis apa yang dikerjakan. Pemikiran nyleneh “kemliwer” aneh-aneh adalah sesuatu yang dialami sehari-hari. Jadi semestinya bisa dituliskan. Tulis apa yang dikerjakan.

Ilmu dipelajari dengan cara mengkaji teori-teori terdahulu. Penelitian terdahulu. Dihafalkan konsep-konsep dasar yang sudah ada. Pengembangan sudah selayaknya merunut dari data yang sudah ada. Ini standard saja. Ini dapat diistilahkan sebagai reproduksi ilmu pengetahuan.

Reproduksi secara biologi berarti perkembangbiakan. Sifat dasar dari perkembangbiakan biologi secara kawin adalah individu yang dihasilkan tidak mungkin identik dengan orang tuanya. Gen dari ayah dan ibu bercampur dengan cara yang unik sehingga menghasilkan kebaruan pada generasi penerusnya. Perkawinan inilah yang menghasilkan variasi di alam. Variasi inilah yang menjadi bahan mentah evolusi. Adanya variasi ini merupakan keuntungan dari segi evolusi. Sebab seleksi alam akan memilih individu-individu yang sesuai. Yang tidak sesuai akan pupus. Jika populasi seragam, tidak ada variasi, maka jika lingkungan tidak sesuai dan seleksi alam bekerja, seluruh populasi akan habis. Tidak demikian halnya jika individu dalam populasi bervariasi. Dalam lingkungan yang berubah, anggota populasi yang tidak sesuai akan punah, sedangkan varian yang sesuai akan terus hidup.

Oleh karena itu (dengan analogi diatas), walaupun dari asal yang sama, konsep-konsep yang sudah ada, dan merujuk penelitian terdahulu, tidak semestinya ilmu menghasilkan kesimpulan yang sama. Kalau tidak sama dikatakan salah. Perlu diulang supaya sama. Ketidaksamaan ini disebabkan oleh cara pandang baru yang berbeda di dalam mengkaji keilmuan terdahulu. Walaupun tema sama, bacaan sama, cara mengkomposisikan dan perspektif yang berbeda dapat menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru. Dengan cara inilah keilmuan akan menggairahkan. Sangat membosankan jika segala sesuatu harus mengikuti persis apa yang sudah ada, dikomposisikan dengan cara yang sama, dilihat dengan cara yang sama, dan dengan sendirinya menghasilkan kesimpulan sama.

Apalagi jika fakta yang ada ialah fakta baru, lingkungan baru, data baru, tentunya akan didapat hasil dan simpulan penelitian yang baru (atau malahan tidak baru, hanya memperkuat teori lama). Kebaruan atau ketidakbaruan bukanlah isu penting dalam ilmu. Di jantung ilmu ialah kebebasan. Hanyalah memuaskan rasa ingin tahu yang menjadi dorongan untuk mengkaji ilmu. Hanyalah mengisi waktu luang sekolah itu. Sangat jauh dari ilmu dan sekolah yang banyak (kita lihat) sekarang. Semua sudah ada ukurannya. Inputnya. Outputnya. Ilmu itu diartikan sebagai manfaat ilmu. Penelitian ialah hibah penelitian. Kompetensi ialah sertifikat. Pendidik ialah sertifikat pendidik.

Inilah mungkin gejala produksi ilmu. Produksi diartikan sebagai penghasilan barang. Manufaktur. Sehingga semua ada standardnya. Ada prosedurnya. Ada cetakannya. Ada Quality Control. Sehingga itu prosedur memang diadopsi dari pabrik. Diterapkan di pendidikan. Jika semua tetek bengek itu diikuti betul-betul dengan tulus ikhlas. Akan dijamin output/keluaran/lulusan yang seragam. Terstandard. Sesuai dengan semua SOP dan pengukuran yang telah ditetapkan. Taat asas. Semua harus ada perencanaannya. Tidak boleh tidak direncanakan. Yang tidak direncanakan tapi dilakukan ialah pelanggaran aturan. Bisa masuk penjara. Bagaimana dengan karakter dunia pendidikan yang dinamis? Itu mudah saja. Perencanaan bisa direvisi. Dan prinsip revisi adalah tidak terbatas, sepanjang tahun. Lalu, jika revisi/penambahan/penghapusan/perubahan bisa selalu dilakukan terhadap perencanaan, apa bedanya dengan sesuatu yang tidak direncanakan? Beda. Sangat beda. Yang satu memakai perencanaan, satunya tidak. Itulah bedanya. Dan orang harus puas dengan jawaban itu.

Kalau prosedur sudah lengkap, orang akan mencari ilmu berbekal prosedur. Kenapa begitu? Karena semua harus ada prosedurnya. Dan prosedur harus ada untuk semuanya. Lama-lama orang asyik dengan prosedur. Tanpa mengindahkan konten keilmuan yang mau dipelajari. Kalau mau menulis jurnal, harus ikut pelatihan penulisan jurnal. Mau meneliti harus mengikuti kuliah metodologi penelitian. Kalau mau mengajar harus punya sertifikat mengajar. Mau nulis bahasa inggris, harus ikut kursus penulisan bahasa inggris. Mau kuliah ke luar negeri harus ikut workshop menembus perguruan tinggi di luar negeri. Mau tulis proposal hibah, harus ikut pelatihan menulis proposal untuk hibah penelitian. Semua ada workshopnya. Dan ada sertifikatnya. Tanpa itu dianggap tidak kompeten.

Semua harus diagendakan. Semua harus dirapatkan. Semua harus di jobdes kan. Semua harus di SOP kan. Semua harus direncanakan, diukur, dipantau, dicocokkan, dijamin, dievaluasi. Apa semua yang dibuat harus ditulis. Dan apa yang ditulis harus dibuat. Semua yang tidak ikut ini sudah akan ditolak sedari awal.

Hal ini cepat atau lambat akan merubah filosofi orang tentang ilmu. Kulit menjadi sangat penting. Malahan kulitlah satu-satunya yang ada. Manajemen (produksi) akan mengambil alih pendidikan. Bagaimanapun, adalah cara pandang reduksionis yang luar biasa untuk meletakkan managemen produksi di atas pendidikan. Ilmu mempunyai karakter tersendiri yang tidak sepenuhnya bisa tunduk di bawah managemen produksi (barang). Kata-kata ilham, inspirasi, kontemplasi, insight, instinct, feeling, rasa, jiwa, perenungan, sudah dilupakan orang yang sedang belajar. Sebab semua sudah ada ukuran dan instrumennya. Semua istilahnya harus teknis, strukturalis, positivisme, instrumental. Demikian juga kata keingintahuan, estetik, melembutkan jiwa, mengisi waktu luang, sudah tidak dipakai sebagai alasan menuntut ilmu. Yang wajib muncul ialah tujuan instruksional, kompetensi, output, daya saing, manfaat, mutu, standard, keterserapan kerja.

Salahkah ini semua? Standardisasi, prosedurisasi, instrumentasi, manufacturisasi, kontrolisasi, dan produksi dalam dunia ilmu? Tidak salah. Semua ini tidak salah. Suka atau tidak ini sedang terjadi. Tidak ada orang yang sama sekali tidak pakai ini. Dan semua zaman menggunakan ini. Hanya saja sekarang ialah zaman di mana hal ini sedang mencapai puncaknya.

Namun demikian merupakan kenyataan hidup bahwa dalam masa keemasan prosedur produksi sekalipun, akan ada alternatif lain yang tetap bertahan. Sebagaimana variasi minor dalam suatu populasi, sedikit orang esensialis akan tetap ada ditengah-tengah kerumunan besar proseduralis. Dan dimasa yang berbeda pernah juga sedikit orang-orang proseduralis bertahan di dalam kerumunan besar kaum esensialis. Walaupun total berbeda di dalam asumsi, filosofi, pandangan, dan kaedah, kedua kelompok ini (proseduralis dan esensialis), memiliki satu kesamaan yang nyata. Kedua kelompok ini sama ngeyelnya. Masing-masing merasa sangat yakin (dan berusaha meyakinkan orang lain) akan pandangan yang dianutnya. Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Kita tidak tahu. Alam yang akan menentukan. Seleksi alam akan bekerja memilih individu-individu yang sesuai. Apapun yang akan dipilih alam, tugas kita hanyalah memastikan sebanyak mungkin variasi tetap terjaga di alam. Adanya satu hegemomi tunggal, tanpa menyisakan varian lain, akan berakibat kepunahan jika seleksi alam mengeliminir satu-satunya varian yang ada.

[Redaksi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *